Friday, March 4, 2016

TUGAS DAKWAH PARA WALI JAMAN DAHULU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Riwayat masa lampau sebagai obyek studi sejarah, berkenaan dengan peristiwa-peristiwa pada kehidupan manusia yang menyangkut segala aspeknya. Dalam penuturan sejarah, peristiwa-peristiwa tadi diurutkan kurun-kurun waktu secara kronologis. Dari analisis sejarah tentang suatu peristiwa atau suatu masalah, kita dapat mengadakan prediksi terhadap hal-hal tersebut pada masa yang akan datang. Pemilihan suatu gejala atau suatu masalah dengan menggunakan pendekatan sejarah, ini termasuk pemilihan yang dinamis, karena memperhatikan urutan prosesnya dari waktu kewaktu.

Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat tentang masa lampau atau suatu bidang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan menuturkan riwayat masa lampau tersebut sesuai dengan dapat melepaskan diri dari kejadian dan serta kenyataan masa sekarang yang sedang kita alami bersama dan tidak pula kita lepaskan dari perspefktif masa depan.

Perkembangan peradaban masa lalu merupakan perpaduan antara Hindu-Budha dengan Islam, yang membawa akibat adanya Versi baru dalam hal kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat sekarang ini. Hal ini sejalan dengan konsep sejarah, yaitu adanya kemajuan dalam menganalisis suatu peristiwa dengan tanpa meninggalkan analisis peristiwa masa lampau.

Perkembangan dakwah islam bukan saja memerlukan kuantitas para Da’i ataupun kuantitas lembaga-lembaga dakwah yang mengorganisir dan mencetak para Da’i melainkan harus dilengkapi oeh beberapa syarat atau faktor-faktor lain. Perjalanan dakwah islamiyah di tanah air kita harus terus dikembangkan, karena merupakan tugas suci bagi setiap muslim yang cinta akan agamanya. Demi keberhasilannya dalam berdakwah harus ditunjang dalam berbagai syarat, diantaranya adalah adanya metode dakwah yang sempurna. Dalam rangka inilah kelompok kami mencoba mengetengahkan sekelumit sejarah tentang sistem dakwah yang digunakan Sunan Gunung Jati, Sunan Muria dan Sunan Drajat yang telah berhasil merintis jalannya dakwah di pulau Jawa. Sehingga beliau berhasil mengembangkan ajaran Islam dan memperoleh umat yang begitu banyak, khususnya di pulau Jawa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Metode dakwah sunan Drajat
2.      Metode dakwah sunan Muria
3.      Metode dakwh sunan Gunung Jati
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengtahui metode dakwah sunan Drajat
2.      Untuk mengetahui metode dakwah sunan Muria
3.      Untuk mengetahui metode dakwah sunan Gunung Jati





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metode dakwah Sunan Drajat
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya.
Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti , baik melalui perkataan maupun perbuatan.
"Bapang den simpangi , ana catur mungkur", demikian petuahnya yang berarti :
Jangan dengarkan pembicaraan yang menjelek-jelakan orang lain , apalagi melakukan perbuatan tersebut.

Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui kosep dakwah bil-hikmah , dengan cara-cara bijak , tanpa memaksa.
Dalam menyampaikan ajarannya , Sunan Drajat menempuh 5 cara.

» Pertama , lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
» Kedua , melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
» Ketiga , memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
» Keempat , melalui kesenian tradisional dengan kerap berdakwah lewat tembang yang diiringi gamelan.
Karena itu ia dikenal sebagai seorang wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur.
Sisa-sisa Gamelan Singo Mengkoknya kini tersimpan di Museum Daerah.
» Kelima , ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional , asal tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat dari sap tangga ketujuh yang terakhir adalah

1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta = Berikan tongkat kepada yang terpeleset dan buta.
2. Paring pangan marang kang kaliren = Berikan makan kepada yang kelaparan.
3. Paring sandang marang kang kawudan = Berikan pakaian kepada yang telanjang.
4. Paring payung marang kang kodanan = Berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya.
Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari , sehingga penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang konon merajalela selama dan setelah pembukaan hutan tersebut.
Ia juga sering mengobati warga yang sakit dengan ramuan tradisional dan doa.

B.     Metode sunan Muria
Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. 
Sunan muria menyebarkan agama islam kepada para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Cara beliau menyebarkan agama islam dengan tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah. Beliau juga yang telah menciptakan berbagai tembang jawa. Salah satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti. Tempat dakwahnya berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya diperluas meliputi Tayu, Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria karena tinggal di gunung muria.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat.
Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati.
Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Dengan gayanya yang moderat, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.  Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

 Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.


C.     Metode dakwah sunan Gunung Jati
Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.
Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya adalah sebagai berikut :
1.      Metode “maw’izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
2.      Metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif  dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3.      Metode “Tadarruj” atau “Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4.      Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh Islam.
5.      Metode kerjasama,  dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6.      Metode musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
7.      Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategi,geopolitik,geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran islam selanjutnya.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Para sunan sebernarnya memiliki peranan yang amat sangat penting dalam penyebaran ajaran islam sehingga, dapat menjadikan islam seperti sekarang.

B.     Penutup

Sekian makalah saya buat, apabila ada kesalahan penulisan pada makalah saya, saya ucapkan mohon maaf.

No comments:

Post a Comment